Selamat Datang

Selamat datang kepada kawan-kawan yang telah berkenan berkunjung. Blog ini bercerita tentang usaha saya untuk belajar meneliti. Bila kawan-kawan juga baru mulai belajar meneliti, silahkan jelajahi blog ini. Tetapi bila telah berpengalaman, blog ini bukan untuk Anda. Karena saya baru belajar meneliti maka tulisan-tuilisan akan terus menerus saya revisi, seiring dengan pustaka yang saya peroleh dan masukan dari kawan-kawan. Karena itu, silahkan sampaikan komentar pada bagian bawah setiap tulisan dan kunjungi lagi lain kali, untuk membaca tulisan revisi paling mutakhir.

Kamis, 21 November 2013

1. Apa Yang Kau Cari, Palupi: Apa Itu Sudut Pandang atau Paradigma dalam Penelitian?

Print Friendly and PDF
Awareness emerged as I became more and more dissatisfied with what I could and could not do with traditional scientific method research. It seemed to me that traditional research based on the scientific method forced us to study some of the least important issues because we could quantify the variables and control the experimental context. While we were publishing plenty of methodologically sound studies, we seemed to be publishing too few papers on the topics that were really important.
Jerry W. Willis (2007): Foundation of Qualitative Research
Palupi merasa tidak berbahagia hidup dengan suaminya, seorang pengarang idealis yang rela hidup miskin untuk mempertahankan prinsip kejujuran dan kebenaran. Suatu kali, Palupi mendapat tawaran membintangi sebuah film. Pada awalnya suaminya berkeberatan, tetapi karena didesak terus, akhirnya mengijinkan. Diam-diam, Palupi jatuh hati kepada sang sutradara film. Cinta Palupi bersambut, sang sutradara meninggalkan pacarnya. Tetapi setelah sang sutradara meninggalkan pacarnya, Palupi justru jatuh cinta lagi pada seorang pengusaha muda kaya. Sang sutradara merasa dikhianati sehingga meninggalkan Palupi untuk kembali kepada pacarnya yang masih setia menunggu. Apa yang kemudian terjadi dengan Palupi, dibiarkan mengambang oleh sang sutradara film ini, Asrul Sani. Maka judulnyapun menjadi sebuah pertanyaan, "Apa Jang Kau Tjari, Palupi?", diproduksi tahun 1969, dan terpilih sebagai film terbaik pada Fertival Film Asia tahun 1970.

Apa yang sebenarnya dicari melalui penelitian? Ada yang mengatakan bahwa melalui penelitian orang mencari kebenaran (truth). Dalam bahasa Inggris, kata 'truth' bermakna kualitas kesesuaian sesuatu dengan fakta atau realitas. Ada banyak teori mengenai apa itu sebenarnya kebenaran, sebut saja korespondensi, koherensi, konsensus, pragmatik, minimalis, performatif, redundansi, pluralis; tetapi begitupun, apa itu kebenaran tetap diperdebatkan. Tapi menurut Thomas Kuhn (1962) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, kenenaran ilmiah pada waktu tertentu, tidak dapat sicapai semata-mata melalui kriteria obyektivitas, melainkan justru melalui konsensus di kalangan masyarakat ilmiah. Dengan kata lain, pergeseran pandangan mengenai kebenaran ilmiah dari satu waktu ke waktu berikutnya, yang oleh Kuhn disebut pergeseran paradigma (paradigm shift), diperngaruhi oleh konstruksi sosial. Pendapat Kuhn tersebut diartikan oleh sementara kalangan bahwa teori ilmu pengetahuan, keseluruhan atau sebagaian, merupakan konstruksi sosial. Kalangan masyarakat ilmiah, dalam hal ini masyarakat ilmu-ilmu alam (natural sciences), memandang pendapat seperti ini sebagai ancaman terhadap obyektivitas ilmu pengetahuan.

Bersamaan dengan itu berkembang apa yang disebut pascamodernisme (postmodernism). Penganut pandangan ini, terutama penganut garis keras seperti Paul Feyerabend, mengangap bahwa teori ilmiah sebenarnya tidak koheren dan pengetahuan yang dihasilkan melalui metode ilmiah berperan bukan hanya untuk memberikan penjelasan ilmiah, melainkan juga untuk mempertahankan kepentingan pribadi. Penganut garis tengah seperti Imre Lokatos berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mungkin memang berkembang secara obyektif, tetapi bagaimanapun juga, obyektivitas ilmu pengetahuan juga terbangun melalui proses sosial. Dikritik seperti itu, Paul R. Gross dan Norman Levitt (1994), melalui bukunya Higher Superstition: The Academic Left and Its Quarrels With Science, menuduh kalangan pascamodernis sebagai anti-intelektualisme, bahwa mereka menulis kritik terhadap teori ilmu pengetahuan tanpa mengetahui secara utuh apa sebenarnya yang mereka kritik (bagaikan seorang siswa SMA jurusan IPS mengkritik matematika, fisika, kimia, dan biologi). Hal ini memicu apa yang oleh Wikipedia disebut perang ilmu pengetahuan (science war) dan oleh sumber lain juga disebut perang paradigma, yang berlangsung pada 1990-an, antara panganut realisme ilmiah (scientific realist) di satu sisi dan penganut pascamodernis (postmodernist) di sisi lain.

Lalu apa kaitan antara film zaman dahulu dengan perang ilmu (perang paradigma)? Apa pula kaitannya dengan metode penelitian (metode ilmiah?) sehingga perlu dibaca oleh orang yang baru belajar metode penelitian seperti saya? Jawabannya berkisar pada kebenaran, realitas, dan fakta itu kita maknai seperti apa. Bila realitas merupakan kualitas keseuaian sesuatu dengan fakta atau realitas, fakta itu sendiri apa dan realitas itu apa? Menurut Wikipedia, fakta (fact) merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi dan dapat diverifikasi, sedangkan realitas (reality) merupakan sesuatu yang dapat diamati (obyek) dan dapat dipikirkan (ide, prakarsa) pada masa lalu, masa mesakarang, maupun masa yang akan datang. Dengan pemahaman seperti itu, sekarang mari kita renungkan, menurut Palupi dan sutradara Asrul Sani, kebenaran, realitas, dan fakta itu kira-kira dimaknai seperti apa? Demikian juga bagi Gross dan Levitt di satu sisi, serta Feyerabend dan Lokatos di sisi lain, kebenaran, realitas, dan fakta itu apa? Mungkin bukan hanya 'itu apa', tetapi juga itu 'seperti apa', sebagaimana yang dimaksud dengan istilah 'paradigma' oleh Kuhn sebagai sesuatu yang di-share di kalangan masyarakat ilmiah, baik masing-masing maupun bersama-sama. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tentu saja saya perlu terlebih dahulu membaca realisme ilmiah itu apa dan seperti apa dan juga pascamodernisme itu apa dan seperti apa.

Menurut pandangan realisme ilmiah setiap realitas dapat dijelaskan menggunakan teori ilmiah yang berlaku umum sehingga memungkinkan ilmu pengetahuan berkembang. Teori ilmiah itu menjadi benar atau salah, bergantung pada apakah teori yang bersangkutan memang menjelaskan obyek yang benar-benar ada atau tidak dan juga apakah teori yang bersangkutan menjelaskan dengan benar atau tidak. Obyek yang dijelaskan oleh teori tersebut ada secara obyektif, terlepas dari apa yang dapat dipikirkan oleh manusia, dan teori yang digunakan untuk menjelaskan, secara keseluruhan maupun sebagian, dapat diterima dengan alasan tertentu. Pada pihak lain, pascamodernisme berpandangan  bahwa realitas bukan merupakan sekedar bayangan cermin obyek dalam pikiran, melainkan merupakan hasil konstruksi obyek dalam pikiran berdasarkan atas pengalaman pribadi. Atas dasar alasan ini, kalangan pascamodernis menentang pandangan bahwa setiap realitas dapat dijelaskan dengan menggunakan teori yang berlaku umum. Bagi kalangan pascamodernis, interpretasi adalah segala-galanya sebab realitas menjadi ada melalui interpretasi orang per orang terhadap apa yang ada di sekeliling orang-orang yang bersangkutan. Pascamodernisme mendasarkan diri pada pengalaman nyata terhadap prinsip abstrak sehingga mengetahui sesuatu merupakan hasil dari pengalaman perorangan yang bersifat subyektik dan pribadi daripada obyektif dan berlaku umum. Terasa membingungkan? Tentu saja, sebab ini merupakan wilayah filsapat ilmu, bukan wilayah metode ilmiah dan metode penelitian.

Filsafat ilmu di universitas-universitas di negara-negara maju terutama wajib dipelajari oleh mahasiswa program doktor (oleh karena itu disebut program Doctor of Philosophy, disingkat Ph.D.). Tapi di kampus saya justru diajarkan sebagai bagian dari matakuliah metode ilmiah (pokok bahasan mengenai kebenaran, truth). Dalam kebingungan saya mengikuti kuliah tersebut, saya berusaha memperdalam pemahaman saya dengan melakukan penelusuran di Google sehingga saya memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu berkaitan dengan hakekat sesuatu, termasuk pengetahuan (ontologi, ontology, cara memperoleh pengetahuan (epistemologi, epistemology), dan hakekat nilai dan etika, termasuk tentu saja nilai dan etika ilmu (aksiologi, axiology). Dengan pemahaman dasar tersebut, saya kemudian membaca tulisan  Choosing the Appropriate Methodology: Understanding Research Philosophy oleh Marry T. Holden dan Patrick Lynch. Saya sangat menyarankan agar kawan-kawan mengunduh dan membaca tulisan ini untuk membantu memahami kuliah-kuliah awal yang disampaikan oleh dosen metode ilmiah.

Menurut kedua penulis di atas, terdapat dua kutub yang berlawanan dalam memandang hakekat kebenaran, yaitu obyektivis pada satu kutub dan subyektivis pada kutub yang lain. Pandangan obyektivis dianut oleh kalangan realis ilmiah, sedangkan pandangan subyektivis dianut oleh kalangan pascamodernis. Di antara kedua kutub tersebut terdapat serangkaian cara pandang (paradigmworldview) dengan kecenderungan kepada satu di antara kedua kutub tersebut (lihat gambar). Dari segi cara memperoleh kebenaran, kutub obyektivis memandang bahwa kebenaran itu mutlak, obyektif, dan bebas nilai, sedangkan kutub subyektivis memandang kebenaran itu relatif, subyektif, dan tidak bebas nilai. Peneliti, sebagai manusia, pada kutub obyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu dapat ditentukan (determinisme), sedangkan pada kutub subyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu bersifat sukarela (voluntarisme). Peneliti deterministik pada kutub obyektivis cenderung membangun metodologi dengan pendekatan nomotetik (generalisasi, nomothetic), sedangkan peneliti subyektivis dan fenomenologis pada kutub subyektivis cenderung memilih metodologi dengan pendekatan ideografik (interpretasi kasus, idiographic).

Pandangan filosofis terhadap kebenaran yang menentukan pemilihan metodologi penelitian (silahkan klik untuk mengunduh file)
Merujuk pada pendekatan yang digunakan tiap-tiap kutub, maka peneliti dengan pandangan realisme ilmiah cenderung memilih metode untuk melakukan generalisasi, sedangkan peneliti dengan pandangan pascamodernisme cenderung memilih metode untuk menginterpretasikan kasus. Apa itu metode, generalisasi, dan kasus, saya akan pelajari terlebih dahulu sebelum nanti akan saya memaparkannya pada tulisan lain yang berkaitan dengan metodologi penelitian. Mungkin saya perlu mempelajari berbagai cara pandang atau paradigma lain selain kedua kutub di atas. Tetapi untuk sementara, khususnya mengingat saya belajar bersama kawan-kawan pada strata pendidikan S1, saya cukupkan dahulu sampai di sini. Saya masih harus mengulang lagi menonton film "Apa Jang Kau Tjari, Palupi?". Tapi sebelum saya akhiri, mungkin kawan-kawan perlu merenungkan kutipan dari novel Lisa SchroederI Heart You, You Haunt Meberikut ini:
Joy, not sorrow. Laughter, not tears. Life, not death. Love, not blame.
Dan kemudian membandingkan dengan kutipan pernyataan Harold Pinter, seorang penyair dan dramawan Inggris:
There are no hard distinctions between what is real and what is unreal, nor between what is true and what is false. A thing is not necessarily either true or false; it can be both true and false. 
untuk benar-benar bisa dikatakan memahami, apa itu realisme ilmiah dan apa itu pascamodernisme.

Revisi terakhir pada 28 November 2013
Creative Commons License
Hakcipta tulisan ini dilindungi berdasarkan Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 3.0 Unported License.

Untuk memahami tulisan singkat ini secara lebih tuntas, silahkan klik setiap tautan yang tersedia. Bila Anda masih mempunyai pertanyaan, silahkan sampaikan melalui kotak komentar di bawah ini.

38 komentar:

  1. tulisan tersebut sangat membantu saya dalam mengetahui bahwa didunia ini orang memilikisudaut pandang atau paham yang berbeda mengenai kebenaran akan sesuatu,karena Dari segi cara memperoleh kebenaran, kutub obyektivis memandang bahwa kebenaran itu mutlak, obyektif, dan bebas nilai, sedangkan kutub subyektivis memandang kebenaran itu relatif, subyektif, dan tidak bebas nilai. Seorang peneliti, sebagai manusia, pada kutub obyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu dapat ditentukan, sedangkan pada kutub subyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu bersifat sukarela. Peneliti deterministik pada kutub obyektivis cenderung membangun metodologi dengan pendekatan generalisasi,sedangkan peneliti subyektivis dan fenomenologis pada kutub subyektivis cenderung memilih metodologi dengan pendekatan interpretasi kasus.
    Oleh karena itu saya dapat mengetahui jenis judul yang seperti apa yang sesuai dengan bidang yang saya tekuni sekarang pada saat saya menyusun skripsi nanti.
    terima kasih

    BalasHapus
  2. setelah saya membaca dapat saya simpulkan bahwa ketika orang melakukan penelitian mereka menggunakan pemikiran, metode dan pendekatan dari sudut pandang yang berbeda-beda. misalnya Menurut pandangan realisme ilmiah setiap realitas dapat dijelaskan menggunakan teori ilmiah yang berlaku umum sehingga memungkinkan ilmu pengetahuan berkembang. Teori ilmiah itu menjadi benar atau salah, bergantung pada apakah teori yang bersangkutan memang menjelaskan obyek yang benar-benar ada atau tidak. pascamodernisme berpandangan bahwa realitas bukan merupakan sekedar bayangan cermin obyek dalam pikiran, melainkan merupakan hasil konstruksi obyek dalam pikiran berdasarkan atas pengalaman pribadi. Menurut kedua penulis di atas, terdapat dua kutub yang berlawanan dalam memandang hakekat kebenaran, yaitu Pandangan obyektivis dianut oleh kalangan realis ilmiah, sedangkan pandangan subyektivis dianut oleh kalangan pascamodernis. Di antara kedua kutub tersebut terdapat serangkaian cara pandang dengan kecenderungan kepada satu di antara kedua kutub tersebut . Dari segi cara memperoleh kebenaran, kutub obyektivis memandang bahwa kebenaran itu mutlak, obyektif, dan bebas nilai, sedangkan kutub subyektivis memandang kebenaran itu relatif, subyektif, dan tidak bebas nilai.
    Terima kasih buat tuisannya, tulisannya sanat membantu saya ketika saya akan melakuan penelitian nanti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kira-kira, ungkapan:
      Joy, not sorrow. Laughter, not tears. Life, not death. Love, not blame.
      itu obyektif atau subyektif ya?

      Hapus
    2. Menurut saya, ungkapan Joy, not sorrow. Laughter, not tears. life, not death. Love, not blame itu subyektif.

      Hapus
    3. 100% benar, berarti hidup ini tidak obyektif, bukan? Subyektif tidak berarti salah, bukan?

      Hapus
  3. Penjelasan yang lumayan singkat namun mudah dimengerti serta disertai dengan beberapa perbandingan yang jelas, itulah yang bisa saya simpulkan dari bacaan ini. Namun, saya memiliki beberapa masukan yang mungkin dapat melengkapi tulisan ini, yang mana menurut saya agar pada beberapa poin yang dikutip dari sumber(google)dapat disertakan dengan alamat webnya agar saya juga bisa menelusurinya, dan juga mungkin bukan dari sumber saja tapi penjelasan dari Bapak juga ada karena saya yakin kalimat-kalimat dari Bapak akan lebih mudah dipahami dan dimengerti, dan tidak lupa saya ucapkan terima kasih buat ilmu tambahan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alamat web saya berikan dalam bentuk tautan (link), silahkan klik bagian tulisan yang bertautan (disertai link) untuk menuju ke halaman pustaka yang saya taut. Jika memang ingin memperoleh alamat URL, silahkan klik kanan setiap bagian yang mempunyai tautan dan kemudian pilih Copy link address. Silahkan kemudian tempel alamat URL tersebut pada kotak URL mesin peramban (browser). Tetapi mengapa justeru memilih cara yang merepotkan padahal saya sudah memberikan yang lebih mudah?

      Hapus
    2. Baik terima kasih pak, mungkin saya harus belajar lebih lagi.

      Hapus
    3. Seseorang akan benar-benar belajar bila menyadari sendiri kesalahan yang dilakukannya. Selamat belajar Meridz.

      Hapus
  4. Dari tulisan diatas saya dapat membedakan apa itu pandangan pascamodernisme penganut garis keras seperti Paul Feyerabend, menganggap bahwa teori ilmiah sebenarnya tidak koheren dan pengetahuan yang dihasilkan melalui metode ilmiah berperan bukan hanya untuk memberikan penjelasan ilmiah, melainkan juga untuk mempertahankan kepentingan pribadi.sedangkan Penganut garis tengah seperti Imre Lokatos berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mungkin memang berkembang secara obyektif, tetapi bagaimanapun juga, obyektivitas ilmu pengetahuan juga terbangun melalui proses sosial.
    terima kasih

    BalasHapus
  5. dalam tulisan ini mengatakan bahwa penelitian itu untuk mencapai kebenaran.menurut saya yang berarti bahwa kebenaran dalam penelitian itu penting bagi semuan orang bukan untuk diri sendri khusunya untuk kalangan masyarakat kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahasa oh bahasa! Tulisan tidak pernah berkata-kata. Silahkan simak kalimat pertama, siapa yang mengatakan, tulisan atau dalam? Juga kalimat kedua, siapa yang berarti, saya atau menurut?

      Hapus
  6. Tampak jelas artikel yang memuat diri saya sebagai contoh itu masih menganut teori bahwa ada realitas objektif di dunia empiris yang harus dihormati sebagai kebenaran mutlak di dunia ilmiah. Sama sekali tidak disadari bahwa teori ilmu sudah berkembang lebih jauh dari itu, yakni dengan memasukkan faktor manusia dan kekuasaan dalam pembentukan realitas. Terjadi interaksi antara dunia subjektif manusia dengan dunia objektif empiris dalam hubungan yang dialektis. Kegagalan menyadari hal ini akan membuat kita, tanpa sadar, menjadi alat dari kekuasaan yang ada di masyarakat, karena mengira bahwa realitas buatan manusia sebagai dunia objektif yang tidak bisa diubah. Kapitalisme adalah realitas objektif, karena itu usaha untuk mengubahnya akan sia-sia...
    Terima kasih Pak, saya mengerti sekarang apa arti kebenaran yg sebenarnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapitalisme adalah juga sudut pandang dalam meretas realitas kehidupan. Karena merupakan sudut pandang, kita bisa memilih untuk mengikuti atau tidak mengikutinya.

      Hapus
  7. setelah saya membaca tulisan di atas saya dapat menyimpulkan bahwa terdapat dua kutub yg berlawanan dalam memandang hakekat kebenaran yaitu obyektivis pada satu kutub dan subyektivis pada kutub yang lain.pandangan obyektivis di anut oleh kalangan pascamodemis di antara kedua kutub tersebut terdapat serangkaian cara pandangan dengan kecenderungan kepada satu diantara kedua kutub tersebut dari segi cara memperoleh kebenaran kutub obyektivis memandang bahwa kebenaran itu mutlak,obyektif dan bebas nilai sedangkan kutub subyektivis memandang kebenaran itu relatif subyektif dan tidak bebas nilai.terima kasih Pak,saya dapat mengertipa itu kebenaran...

    BalasHapus
  8. Membaca tulisan ini sedikit membuat pandangan saya yang terlalu rumit tentang metode penelitian mulai berkurang,paling tidak saya dapat memahami apa yang sedang dicari orang-orang yang gemar menliti termasuk saya yang suda pasti akan melaluinya sebagai syarat untuk lulus dari perguruan tinggi.Mengenai pandangan realisme ilmiah dan pascamodernis memandang penelitian dari cara pandang yang sangat berbeda bahkan saling menjatuhkan satu sama yang lain,sampai sekrang hal itu masi terasa ,tapi apakah mungkin saya menjadi peneliti yang berada pada kedua pandangan tersebut dan tidak memihak pada salah satunya?.Saya punya sebuah keinginan untuk meneliti bukan sekedar menjadi kebanggan saya tetapi dapat bermanfaat bagi orang lain.
    Terimaksih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meneliti pada dasarnya merupakan realitas kehidupan. Dalam hidup, kita selalu harus memilih. Renungkan kembali apa yang dialami oleh Palupi karena dia ingin memperoleh semuanya (sudah memilih suami tetapi masih ingin mendapat laki-laki lain). Demikian juga dalam penelitian, sebaiknya pilih satu sudut pandang sebab mencampuradukkan dua sudut pandang akan bernasib sama seperti yang dialami Palupi.

      Hapus
    2. Termkasih untuk motifasinya pak

      Hapus
  9. malam bapa,bacaan ini sangat penting bagi saya karena dengan melakukan penelitian kita dapat menemukan kebenran ilmiah yang penting bagi kehidupan sosial bagi diri kita sendiri dan juga lingkungan masyarakat sekitar kita dalam hal ini lingkungan atau masyarakat ilmiah.

    BalasHapus
  10. Selama perkuliahan saya belum memahami seutuhnya tentang materi ini. Setelah membaca materi ini,saya lebih memahami pentingnya suatu sudut pandang dalam penelitian. Yang dapat saya simpulkan bahwa setiap peneliti harus mempunyai sudut pandang atau pendekatan yang berbeda,misalnya, peneliti deterministik pada kutub obyektivis cenderung membangun metodologi dengan pendekatan nomotetik (generalisasi, nomothetic), sedangkan peneliti subyektivis dan fenomenologis pada kutub subyektivis cenderung memilih metodologi dengan pendekatan ideografik (interpretasi kasus, idiographic). Merujuk pada pendekatan yang digunakan tiap-tiap kutub, maka peneliti dengan pandangan realisme ilmiah cenderung memilih metode untuk melakukan generalisasi, sedangkan peneliti dengan pandangan pascamodernisme cenderung memilih metode untuk menginterpretasikan kasus. Dari segi cara memperoleh kebenaran, kutub obyektivis memandang bahwa kebenaran itu mutlak, obyektif, dan bebas nilai, sedangkan kutub subyektivis memandang kebenaran itu relatif, subyektif, dan tidak bebas nilai.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah sebabnya mengapa saya meminta mahasiswa untuk membaca, mwmbaca, dan membaca. Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mengerti sesuatu, ada yang lebih suka dengan cara mendengar dan ada pula yang dengan cara membaca. Pada dasarnya, meneliti harus dimulai dengan sudut pandang sebab tanpa itu maka kita akan terombang-ambing dalam menemukan apa yang kita cari (sehingga tulisan ini saya beri judul 'Apa Yang Kau Cari, Palupi?')

      Hapus
  11. Terima kasih bpk,karena sya baru tau bahwa seorang peneliti, sebagai manusia, pada kutub obyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu dapat ditentukan, sedangkan pada kutub subyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu bersifat sukarela. Peneliti deterministik pada kutub obyektivis cenderung membangun metodologi dengan pendekatan generalisasi,sedangkan peneliti subyektivis dan fenomenologis pada kutub subyektivis cenderung memilih metodologi dengan pendekatan interpretasi kasus.
    Oleh karena itu saya dapat mengetahui jenis judul yang seperti apa yang sesuai dengan bidang yang saya minat nanti..

    BalasHapus
  12. Terima kasih bpk,karena sya baru tau bahwa seorang peneliti, sebagai manusia, pada kutub obyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu dapat ditentukan, sedangkan pada kutub subyektivis berpandangan bahwa segala sesuatu bersifat sukarela. Peneliti deterministik pada kutub obyektivis cenderung membangun metodologi dengan pendekatan generalisasi,sedangkan peneliti subyektivis dan fenomenologis pada kutub subyektivis cenderung memilih metodologi dengan pendekatan interpretasi kasus.
    Oleh karena itu saya dapat mengetahui jenis judul yang seperti apa yang sesuai dengan bidang yang saya minat nanti..

    BalasHapus
  13. Terima kasih karena blog ini saya mendapat banyak informasi tentang penelitian.
    Penelitian itu harus selalu dimulai dari suatu kebenaran dimana kebenaran atau kejujuran itu timbul dari si peneliti. Jadi tulisan diatas mau menegaskan kepada si peneliti tentang suatu kebenaran yang di tinjau dari sudut pandang atau paradigma penelitian.dimana paradigma peneliti membahas mengenai jumlah, jenis kelamin dan modus yang sering muncul.seringkali pada praktikum kita banyak terkeco pada jumlah daun karena banyak. jadi penelitian harus perlu suatu ketelitian dari si peneliti.

    BalasHapus
  14. bacaan ini sangat berguna bagi saya karena dengan melakukan penelitian kita dapat menemukan sesuatu yang baru yang kemudian akan dimengerti oleh diri kita sebagai peneliti dan prlaahan kita mengembnagkan apa yang telah menjadi bahan penelitian kita.

    BalasHapus
  15. dari blog tersebut saya dapat memahami bahwa sesuatu yang di anggap benar belum tentu di anggap benar juga oleh orang lain,karna sudut pandang dari setiap orang itu berbeda, tergantung bagaimana mereka melihat dan memahami masalah tersebut.

    BalasHapus
  16. Dari bacaan di atas saya dapat mempelajari tentang bagaimana hidup yang sebenarnya, yang di mulai dari berbagai tantangan hidup yang ada, saya juga dapat mempelajari bagaimana bersabar diri dalam menghadapi suatu masalah yang di hadapi, sama halnya dengan bagaimana kita kuliah, harus tabah dan menjalaninya dengan baik. tarima kasih.

    BalasHapus
  17. apakah segala sesuatu yang ada harus di bukti kebenarannya?......terima kasih atas tulisannya.......saya belum memahami secara menyeluruh tentang tulisan ini... karena terlalu banyak kata-kata asing yang belum saya pahami.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya maklum, jangankan kata-kata asing, menuliskan dibuktikan saja 'di bukti'. Semua istilah asing sudah saya sertakan padanannya dalam bahasa Indonesia. 'Ilmu pengetahuan yang sebenarnya' dikuasai oleh asing, sehingga untuk mempelajarinya secara tuntas kita perlu menguasai bahasa asing. Lagipula, bukankah sebelum kuliah sudah sekurang-kurangnya ENAM tahun belajar Bahasa Inggris? Atau kenyataannya tidak belajar apa-apa, yang penting lulus?

      Hapus
  18. terima kasih bapak atas wacana yang bapak buat,dengan wacana ini saya dulunya belum mengerti, dengan membaca wacana tersebut diatas saya bisa menjelaskan arti wacana tersebut di atas,dalam wacana tersebut pelupi tidak puas dengan satu pasangan saja,berarti dengan penelitian kita tidak boleh mencari satu fakta atau satu bacaan saja tetapi kita harus mencari berbagai fakta dan bacaan untuk menulis suatu penelitian.

    BalasHapus
  19. dari bacaan diatas saya dapat simpulkan bahwa untuk melakukan segala sesuatu kita harus melakukan dengan sabar dan memiliki sudut pandang yang objektif.

    BalasHapus
  20. Terima kasih Bapak untuk informasi ini. yang saya pahami yaitu dalam melakukan suatu Penelitian yang harus di awali adalah Kebenaran.

    BalasHapus
  21. Dari bacaan di atas saya dapat mengetahui apa yang disebut pascamodernisme , dan saya juga banyak mendapatkan informasi dan sudut pandang yang objektif, terima kasih bapak.....

    BalasHapus
  22. Setelah saya membaca tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa kebenaran memiliki arti yang obyektifitas dan subyektifitas, dimana dari arti obyektifitas memandang bahwa kebenaran itu mutlak, obyektif dan bebas nilai sedangkan dari sisi subyektifitas memandang bahwa kebenaran itu relative, subyektif dan tidak bebas nilai. Sehingga apabila dihubungkan dengan dengan penelitian, maka akan didapatkan 2 penelitian yang berbeda, dilihat dari peneliti deterministic yang obyektif cenderung membangun metodologi dengan pendekatan nomotetik (generalisasi) sedangkan peneliti yang subyektivis dan fenomologis cenderung memilih metode dengan pendekatan ideografik (interpretasi kasus), sehingga apabila ke dua peneliti ini meneliti suatu obyek yang sama maka akan memberikan interpretasi hasil yang berbeda dari ke dua peneliti.

    Sedangkan dari kisah palupi, kta dapat mengambil hikmahnya yaitu agar setia terhadap keputusan yang kita ambil, kita harus jujur dan memiliki pendirian yang teguh, sehingga apa yang kta cari dan tujannyapun jelas, dalam hubunganya dengan peneliti, maka seorang peneliti juga harus memiliki cirri seperti yang telah disebutkan, sehingga seorang peneliti akan mengetahui jelas apa tujan dan apa yang dicari peneliti.

    BalasHapus
  23. Terimah kasi bapak, tulisan tersebut sangat membantu saya dalam mengetahui banyak hal, di luar pengetahuan saya, dan dapat menambah pengetahuan saya.
    akan tetapi saya juga belum terlalu memahami sepenuhnya, seperti arti dari kata palupi?

    BalasHapus
  24. Terima kasih pak..
    tulisan ini benar-benar menarik dan menambah wawasan saya/

    BalasHapus
  25. Dari awal cerita atau ilustrasi yang menarik, tulisan ini sangat berguna bagi saya untuk lebih banyak belajar lagi tentang penelitian.
    Terima kasih Pak...

    BalasHapus
  26. Terima kasih atas materi yang telah Bapak berikan,karena dengan membaca materi tersebut maka saya dapat memahami tentang bagaimana saya dapat melakukan suatu penelitian secara sistematis untuk memaparkan, menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan suatu fenomena yang benar-benar terjadi.

    BalasHapus

Silahkan sampaikan komentar atau pertanyaan dengan mengetikkan dalam kotak komentar.